25/10/12
Pusaka kebahasaan bangsa Arab merupakan bahan kajian kebahasaan
terpenting di dunia. Orang-orang Arab sangat mencintai bahasa Arab
bahkan hingga tingkat mensakralkan. Mereka memandang otoritas yang ada
dalam bahasa Arab tidak hanya mengekspresikan kekuatan bahasa, tapi juga
menjadi gambaran kekuatan mereka.
Bangsa Arab adalah
satu-satunya bangsa di dunia ini yang menunjukkan apresiasi tertinggi
terhadap ungkapan bernuansa puitis (syair), lisan ataupun tulisan.
Philip K. Hitti, dalam History of The Arabs (2006) menyatakan, “Sulit
menemukan bahasa yang mampu mempengaruhi pikiran para penggunanya
sedemikian dalam selain bahasa Arab. Ritme, bait syair dan irama bahasa
Arab telah memberikan dampak psikologis kepada bangsa Arab, layaknya
hembusan ‘sihir yang halal’. Jika orang-orang Yunani mengungkapkan daya
seninya terutama dalam bentuk arsitektur dan patung, orang-orang Ibrani
mengungkapkannya dalam bentuk nyanyian agama, maka orang-orang Arab
mengungkapkannya dalam bentuk sastra”.
Kecintaan orang-orang Arab
terhadap seni sastra, adalah asset cultural terbaik mereka. Menggubah
syair merupakan kebiasaan tradisional yang sudah melekat kuat yang
dipengaruhi oleh lingkungan hidup dan lisan mereka yang fasih. Posisi
syair bagi bangsa Arab, ibarat posisi piramida-piramida, candi-candi,
obelisk-obelisk dan tulisan-tulisan yang ada pada barang-barang tersebut
bagi sejarah bangsa Mesir purbakala. Dengan kata lain, syair Arab
merupakan catatan publik (diwan) bagi bangsa Arab.
SASTRAWAN ARAB SEBELUM ISLAM
Status
sebagai sastrawan (penyair) adalah status yang luar biasa tingginya di
kalangan bangsa Arab pra-Islam. Para penyair mewakili kelas intelek di
antara mereka. Munculnya seorang penyair di kalangan suku tertentu
dianggap peristiwa teramat penting. Posisi penyair begitu sakralnya
sehingga seiring perkembangan kharismanya, dia memainkan berbagai peran
sosial.
Dalam peperangan, lidah seorang penyair sama efektifnya
dengan keberanian para pejuang. Pada masa-masa damai, pedasnya lidah
seorang penyair merupakan ancaman bagi stabilitas publik. Seorang
penyair dapat membuat sebuah suku mengambil tindakan tertentu,
dipengaruhi oleh syair-syairnya yang mirip dengan hasutan seorang
demagog dalam sebuah kampanye politik modern. Sebagai agen pembuat
berita atau jurnalis pada masanya, ia mendapat banyak hadiah dari
pemberitaan-pemberitaannya. Syair-syair yang dilestarikan lewat ingatan
dan ditransmisikan secara lisan, merupakan sarana publisitas yang sangat
efektif dan tak ternilai. Ia adalah pembentuk opini publik. Qath’ al-
lisan (memotong lidah) adalah hukuman yang biasa dilakukan dalam rangka
menghindari dan menghentikan kecaman-kecaman seorang penyair.
Seorang
penyair di satu kabilah ibarat seorang nabi di kalangan umatnya. Bila
muncul seorang penyair di antara mereka, maka berdatanganlah utusan dari
kabilah-kabilah yang lain untuk menyampaikan tahniah (ucapan selamat).
Untuk itu, maka diadakanlah jamuan besar-besaran dengan menyembelih
binatang-binatang ternak. Wanita-wanita tercantik pun didatangkan untuk
bernyanyi, menari dan menghibur para tetamu.
Kehebatan penyair
dengan syi’ir-syi’rnya digambarkan sedemikian tingginya. Seorang
penyair, dengan syair-syairnya dapat meninggikan derajat seseorang yang
tadinya hina, atau sebaliknya, ia dapat menghina-dinakan seseorang yang
tadinya mulia. Sebagai contoh, Abdul ‘Uzza ibn ‘Amir, ia adalah seorang
yang tadinya hidup terhina dan melarat. Ia mempunyai banyak anak
perempuan dan tidak ada seorang pun pemuda yang tertarik dan mau
memperisteri mereka. Kemudian Al A’sya, penyair ulung dan terkenal
memuji Abdul ‘Uzza ibn ‘Amir dan anak-anak gadisnya. Syair-syair pujian
Al A’sya lalu membahana di mana-mana. Dengan demikian masyhurlah Abdul
‘Uzza dan kehidupannya segera membaik. Tak hanya itu, para pemuda pun
datang melamar putri-putrinya.
Penyair lainnya, Al Huthaiyah
pernah memuji sekelompok manusia. Mereka merasa berbangga dengan pujian
Al Huthaiyah itu seakan-akan mereka beru saja mendapatkan anugerah
materi termahal yang pernah ada pada masa itu. Sebaliknya, ketika
sekumpulan orang dicela oleh Hasan ibn Tsabit, maka menjadi terhinalah
mereka seketika itu juga. Itulah syi’r dan begitulah pengaruhnya di
kalangan bangsa Arab pra-Islam.
CAHAYA BAHASA AL- QURAN
Setting
bangsa Arab dan budaya mereka dalam menggubah dan menggandrungi syair,
menjadi satu di antara berbagai alasan mengapa al- Quran diturunkan di
tengah-tengah mereka. Dan memang, semenjak al- Quran turun ayat demi
ayat, pamor dan kharisma syair Arab menurun dan bahkan jatuh ke titik
terendah.
Atas kehendak Allah, Ia menurunkan al- Quran dengan
menggunakan kosa kata bahasa Arab, bahasa mereka. Ini diingatkan-Nya
secara tersurat dan tersirat, antara lain melalui surah-surah yang
diawali dengan huruf-huruf hijaiyah (alphabet bahasa Arab). Seakan-akan
al-Quran berkata kepada mereka yang ragu, “Inilah al- Quran,
kalimat-kalimatnya terdiri dari huruf-huruf yang kalian kenal seperti
alif, lam, mim, shad, kaf, ha, ya, ‘ain, shad, ya, sin dan-lain-lain.
Tetapi, keharmonisan irama yang timbul dari rangkaian huruf demi
hurufnya benar-benar di luar kemampuan siapapun juga. Gema irama yang
harmonis dalam al- Quran ibarat lukisan yang lengkap, dengan warna-warni
yang elegan, ditambah berbagai hiasan indah, seimbang dan memancarkan
aneka ragam pesona.
Hadirnya al- Quran mengundang wacana
publik bagi bangsa Arab tentang sesuatu yang benar-benar baru
berhubungan dengan kegemaran mereka ‘merangkai kata’. Tentang bagaimana
reaksi orang-orang Arab ketika turunnya al- Quran, M. Quraish Shihab
dalam Mukjizat al-Quran (2006) menulis: “sesungguhnya orang-orang yang
hidup pada masa turunnya al- Quran adalah masyarakat yang paling
mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al- Quran serta
ketidakmampuan manusia untuk menyusun semacamnya. Tetapi, sebagian
mereka tidak dapat menerima al- Quran karena pesan-pesan yang
dikandungnya merupakan sesuatu yang baru. Hal itu masih ditambah lagi
dengan ketidaksejalanan al- Quran dengan adat dan kebiasaan serta
bertentangan dengan kepercayaan mereka. Inilah yang tidak dapat mereka
terima. Tetapi Bukankah mereka pun menyadari akan keunikan dan keindahan
kata-katanya? Benar. Tetapi bagaimana dengan kepercayaan dan adat
leluhur? Kepercayaan harus dipertahankan, al- Quran harus ditolak.
Begitulah kesimpulan tokoh-tokoh masyarakat waktu itu.”
Suasana
yang sedemikian complicable ini ditambah pula dengan tantangan Allah
swt. supaya mereka menggubah bahasa sastera terbaik yang mereka miliki
untuk menandingi al- Quran. Pertama, Allah menentang siapapun yang
meragukan al- Quran untuk menyusun semacam al- Quran secara keseluruhan
(baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk meyusun sepuluh surat
semacam al- Quran (baca QS 11:13). Ketiga, menentang mereka untuk
menyusun satu surat saja semacam al- Quran (baca QS. 10:38). Keempat,
menentang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama
dengan satu surat dari al- Quran (baca QS. 2:23).
Rupanya, mereka
begitu terpepet, terpojok dan kehabisan alasan untuk menolak al-Quran.
Berbagai cara mereka lakukan untuk mengenyahkan kekikukan.
Ketidakberkutikan kafir Mekah, terutama para penyairnya, membuktikan
kemukjizatan dan kebenaran al-Quran, sebuah babak baru dalam sejarah
kebahasaan bangsa Arab. Dalam sejarah mereka, bahasa Arab telah melewati
masa-masa pasang dan surut, meluas dan menyempit, bergerak dan statis,
modern dan kolot, sesuatu yang berbeda dari bahasa al- Quran yang dalam
berbagai fasenya berada dalam kedudukan paling tinggi dan menguasai
semuanya.
Demi menutupi malu, mereka menyematkan gelar demi gelar
yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad. Sesekali mereka menyebutnya
‘penyair’ (sya’ir), di lain kesempatan mereka menggelari Nabi sebagai
‘dukun’ (kahin), dan di lain waktu mereka menganggapnya sebagai ‘orang
gila’ (majnun).
Yang menarik dalam konteks ini, adalah gelar
penyair yang mereka alamatkan kepada Nabi saw.. Al-Quran mengabadikan
ungkapan mereka dalam firman-firman-Nya, (QS. Al- Anbiya [21]:5), (QS.
Ath-Thur [52]:30-31), dan (QS. Ash- Shaffat [37]:36-37). Untuk itu,
Allah swt tegas menyatakan bahwa al- Quran bukanlah syair, dan Muhammad
bukanlah penyair. Ia berfirman, “Dan Kami tidak mengajarkan syair
kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. (QS.
36:69). Dalam ayat-Nya yang lain Ia pun menegaskan, “Al Quran itu tidak
lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Sesungguhnya
Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada)
Rasul yang mulia, dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair.
Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. (QS. 69: 40-41)
Pada
perkembangan selanjutnya, track sastra Arab menjadi lurus. Masa depan
bahasa Arab pun lebih cerah dan lebih menjanjikan. Di kemudian hari,
keindahan bahasa al- Quran menjadi inspirasi lahirnya ilmu Balaghah,
ilmu yang telah mapan menjadi acuan para penikmat sastra Arab sampai
hari ini. Misi al-Quran ternyata begitu lengkap, bukan hanya sebagai
pemuas dahaga mereka yang mencari hidayah, tapi juga bisa dinikmati dari
berbagai sisi, salah satunya adalah sisi kebahasaan dan kesusastraan.
Wallaahu min waraa al- qashd
0 komentar:
Posting Komentar